ANEKDOT


"Monyet dan Wartawan"

Di tengah jalan raya ada kecelakaaan. Banyak orang berkerumun di sana, sehingga menyulitkan seseorang untuk melihat dari dekat si korban. Sang wartawan yang saat itu kebetulan lewat dan berniat mendekat ke Tempat Kejadian Perkara (TKP) mengatakan bahwa dia adalah bapak si korban. Tentu saja orang-orang di sekitar TKP segera minggir memberikan jalan kepada si wartawan. Sampai di TKP, sang wartawan terkejut dan mukanya tampak pucat. Sebab, ternyata korbannya adalah MONYET

                                         "Pemeras Kecil"

Seorang anak kecil yang bandel melihat kakaknya dicium oleh teman lelakinya. Esok harinya, ia menemui lelaki itu. “Abang semalam mencium kakakku bukan?” “Ya, tapi jangan keras-keras. Ini seribu untuk tutup mulut!” “Terima kasih, ini uang kembaliannya lima ratus!” “Lho, kok pakai uang kembalian segala?” “Saya tidak mau nakal, Bang. Semua orang yg mencium kakak juga saya tagih lima ratus!” “???!!!”
 
Blog 
EntryANEKDOT SUGENG INGIN KE LUAR NEGERI

Sebut saja namanya Sugeng. Anekdot ini kupetik dari angin, tapi bukan berarti tak nyata. Seperti kata buku-buku lama, ini betoel kedjadian....
Sugeng datang dari kampung, ke Jakarta dengan cita-cita tinggi: ia ingin jadi cendekiawan negeri. Ia sekolah di perguruan tinggi, satu-satunya anak yang berhasil ke Jakarta dari kampungnya. Ia anak santri, lalu kuliah filsafat Islam, saat ini sudah S-2. Ia cukup banyak menulis di media nasional macam Kompas atau Tempo. Ia ingin belajar lebih tinggi lagi. Ia ingin ke luar negeri.

Untuk itulah ia belajar bahasa Inggris di sebuah lembaga kursus bahasa Inggris terkemuka di Jakarta. Biayanya mahal, ia upayakan sendiri.

Di tempat kursus itu, Sugeng sekelas dengan anak-anak SMU yang ceriwis dan periang. Ketika kelas itu ditanya sang pengajar, ”mengapa kalian belajar bahasa Inggris di sini?” –Sugeng menjawab apa adanya. Saya kursus di sini, karena ingin belajar di luar negeri. Jawaban ini memancing tawa riuh kelasnya. Hahaha, kata seorang anak, ngapain kursus kalau cuma mau ke luar negeri. Lho, kenapa jawaban Sugeng begitu lucunya buat mereka? O, ternyata, kawan-kawan sekelas Sugeng sudah terlalu terbiasa ke luar negeri. Mereka bisa sebulan sekali ke luar negeri, jalan-jalan atau belanja. Gue baru minggu lalu ke Singapura, kata seorang anak.
Ketika sang guru meminta kelas berkomentar tentang Jakarta, rata-rata mengeluh dalam bahasa Inggris. Jakarta sangat panas, lah. Jakarta itu macet dan semerawut, lah. Jakarta kotor dan jorok, lah. Biasa. Memang begitulah Jakarta, bukan? Sampai giliran si Sugeng. Lain dari teman-teman sekelasnya, Sugeng bercerita. Ia adalah satu-satunya penduduk di kampungnya yang berhasil sampai ke Jakarta. Ketika pertama kali ia ke ibukota ini, perasaannya sungguh melambung: ia sangat senang dengan Jakarta. Kelas terdiam, mungkin terharu.
Suatu ketika, saat usai kelas, seorang teman kursus Sugeng yang masih SMU itu, anak lelaki, bilang pada Sugeng, ”Eh, Sugeng, sopir gue nggak bisa datang, nih. Gue pulang sama lu saja, ya?” Sugeng mengiyakan. Ketika Sugeng akan pulang, temannya bertanya lagi, ”Lho, sopir lu mana?”

”Oh,” kata Sugeng, ”saya naik angkutan umum.”
Temannya menatap takjub, dan kemudian pamit untuk cari tumpangan ke teman-temannya yang lain. Sejak itu, tak ada satu pun teman sekelas kursus Sugeng yang mau menegur atau mengajak Sugeng bercakap-cakap. Tak satu pun. Sampai akhirnya, Sugeng mengundurkan diri dari kursus mahal yang ia biayai sendiri itu, karena merasa tak betah. Bagaimana bahasa Inggris-ku bisa maju di situ, pikir Sugeng, jika tak ada yang mau bercakap-cakap denganku? [*]